Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Akhir Matakuliah
Akhlak
tasawuf
Dosen pengampu
; DRS.mangun budianto
Disusun oleh : Muhammad Sholeh
Nim :
( 09470049 )
Jur/smes : ki.A/II
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010
Pengertian thariqoh
Thariqat adalah suatu
sikap hidup Orang yang teguh pada pegangan yang genap Ia waspada dalam ibadah
yang mantap Bersikap wara' berperilaku dan sikap Dengan riyadhah itulah jalan
yang tetap.
Para Ulama berpendapat thariqat adalah jalan
yang ditempuh dan sangat waspada dan berhati-hati ketika beramal ibadah.
Seseorang tidak begitu saja melakukan rukhshah (ibadah yang meringankan) dalam
menjalankan macam-macam ibadah. Walaupun ada kebolehan melakukan rukhshah, akan
tetapi sangat berhati-hati melaksanakan amal ibadah. Diantara sikap hati-hati
itu adalah bersifat wara'.
Menurut al-Qusyairy, wara' artinya berusaha
untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan
halal haramnya). Bersikap wara' adalah suatu pilihan bagi ahli thariqat.
Tingkat agak ke atas adalah wara'ush shâlihîn
(wara' orang-orang saleh). Yakni menjauhkan diri dari semua perkara subhat,
seperti makanan yang tidak jelas asal usulnya, atau ragu atas suatu yang ada di
tangan atau sedang dikerjakan, atau disimpan.
Tingkat yang atasnya lagi, adalah wara'ul
muttaqqîn (wara' orang-orang yang takwa). Yakni meninggalkan perbuatan yang
sebenarnya dibolehkan (mubah), karena kuatir kalau-kalau membahayakan, atau
mengganggu keimanan, seperti bergaul dengan orang-orang yang membahayakan,
orang-orang yang suka bermaksiat, memakai pakaian yang serupa dengan orang-
orang yang berakhlak jelek, menyimpan barang-barang berbahaya atau diragukan
kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per
sepuluh) dari hartanya yang halal karena kuatir berasal dari perilaku haram.
Tingkat yang tertinggi adalah, wara'ush
shiddiqqîn (wara' orang-orang yang jujur). Yakni menghindari sesuatu walaupun
tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya hal-hal yang mubah yang terasa syubhat.
Tariqat Naqshbandiyah mempunyai sejarah yang
panjang iaitu silsilah pemimpin ataupun imam-imam besar bagi tariqat ini dapat
dikesan sehingga ke Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq, Khalifah Ar-Rasyidun yang
pertama. Abu Bakar as-Siddiq menjadi pengganti pertama kepada Rasulullah
(s.a.w) untuk memimpin Ummat Islam pada masa itu dan mengukuhkan rohani dan
iman mereka. Firman Allah didalam Al-quran yang mulia "...sedang dia salah
seorang dari 2 orang ketika keduanya berada dalam gua, Di waktu dia berkata
kepada temannya, Janganlah kamu berdukacita sesungguhnya Allah beserta
kita." (Al-Quran, 9:40).
Rasulullah (s.a.w) pernah memuji Abu Bakar
as-Siddiq dengan sabdanya,"Dikala terbit atau terbenamnya matahari,
sinarnya yang memancar itu, tidak pernah menyinar pada seorang yang lebih baik
selain Abu Bakar melainkan para Nabi dan Rasul." (Tarikh al-Khulafa)
Baginda (s.a.w) juga pernah bersabda,"Abu Bakar lebih utama daripada kamu
bukan kerana banyaknya solat atau puasa beliau melainkan kerana sesuatu rahsia
yang berakar umbi di dalam hatinya."(Manaqib as-Sahaba Imam Ahmad).
Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda," Jika aku di kehendaki memilih teman
yang kucintai, aku memilih Abu Bakr sebagai teman yang kucintai; tetapi dia
adalah saudara dan sahabatku."(Sahih Muslim).
Tariqat Naqshbandiyah terbina asas dan rukunnya
oleh 5 bintang yang bersinar diatas jalan Rasulullah (s.a.w) ini dan inilah
yang merupakan ciri yang unik bagi tariqat ini yang membedakannya daripada
tariqat lain. Lima bintang yang bersinar itu ialah Abu Bakr as-Siddiq, Salman
Al-Farisi, Bayazid al-Bistami, Abdul Khaliq al-Ghujdawani dan Muhammad
Bahauddin Uwaysi a-Bukhari yang lebih dikenali sebagai Shah Naqshband - Imam
yang utama didalam tariqat ini.
Perkataan Naqshbandiyah berasal daripada dua
cetusan idea : naqsh yang bermaksud "ukiran" dan ini diertikan
sebagai mengukir nama Tuhan pada hati dan band pula bermaksud
"ikatan" yang menunjukkan ikatan antara insan dan Penciptanya. Oleh
itu ini bermakna Tariqat Naqshbandi mengajak murid-muridnya lelaki ataupun
perempuan, agar melakukan solat dan menunaikan perkara yang wajib mengikut
Al-Quran dan As-sunnah Rasulullah (s.a.w) dan kehidupan para sahabat berserta
dengan sifat Ihsan. Agar terus bermujahadah dan dapat merasakan kehadiran Allah
dan perasaan cinta kepada Allah didalam hati murid-murid tadi dan seterusnya
terjalinlah ikatan antara murid dengan Penciptanya.
Kaum Naqsyabandiyah dalam jumlah dan kekuatan
intelektualnya, tidak dapat digambarkan secara seragam dalam Dunia Islam
sekarang ini.
Pengaruh mereka mungkin paling kuat di Turki
dan wilayah Kurdistan, dan yang paling lemah adalah di Pakistan. Pada masa
pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah sangat terasa pada gerakan
"Islam bawah tahan" di Kaukasus Asia Tengah. Namun, pada akhirnya
pemerintahan Soviet tidak diikuti perkembangan Naqsyabandiyah di permukaan.
Berbagai Ritual dan Teknik Spiritual
Naqsyabandiyah. Seperti tarekat-tarekat yang lain, Tarekat Naqsyabandiyah itu
pun mempunyai sejumlah tata-cara peribadatan, teknik spiritual dan ritual
tersendiri. Memang dapat juga dikatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah terdiri
atas ibadah, teknik dan ritual, sebab demikianlah makna asal dari istilah
thariqah, "jalan" atau "marga". Hanya saja kemudian istilah
itu pun mengacu kepada perkumpulan orang-orang yang mengamalkan
"jalan" tadi.
Naqsyabandiyah, sebagai tarekat terorganisasi,
punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad, dan penyebaran yang secara
geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila warna dan
tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat
tumbuhnya. Adaptasi terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang
berbeda telah memberikan penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama,
serta para pembaharu menghapuskan pola pikir tertentu atau amalan-amalan
tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca pembahasan
mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat
bahwa dalam pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.
Zikir dan Wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan
tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun
menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk
mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali,
Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir
yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, "tersembunyi", atau qalbi,
" dalam hati"), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang
lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti
diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat
lain.
Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah
maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan
dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh
cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan
dzikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali
seminggu, pada malam Jum'at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan
tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.
Dua dzikir dasar Naqsyabandiyah, keduanya
biasanya diamalkan pada pertemuan yang sama, adalah dzikir ism al-dzat,
"mengingat yang Haqiqi" dan dzikir tauhid, " mengingat
keesaan". Yang duluan terdiri dari pengucapan asma Allah berulang-ulang
dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian
kepada Tuhan semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty wa
itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat la
ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui
tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke
ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di
situ, kata berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai
ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat
tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara,
memusnahkan segala kotoran.
Variasi lain yang diamalkan oleh para pengikut
Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah dzikir latha'if. Dengan
dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu
bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada
tubuh. Titik-titik ini, lathifah (jamak latha'if), adalah qalb (hati), terletak
selebar dua jari di bawah puting susu kiri; ruh (jiwa), selebar dua jari di
atas susu kanan; sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas putting susu
kanan; khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan; akhfa
(kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada; dan nafs nathiqah (akal budi),
di otak belahan pertama. Lathifah ketujuh, kull jasad sebetulnya tidak
merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah
mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh
akan bergetar dalam nama Tuhan. Konsep latha'if -- dibedakan dari teknik dzikir
yang didasarkan padanya -- bukanlah khas Naqsyabandiyah saja tetapi terdapat
pada berbagai sistem psikologi mistik. Jumlah latha'if dan nama-namanya bisa
berbeda; kebanyakan titik-titik itu disusun berdasarkan kehalusannya dan
kaitannya dengan pengembangan spiritual.
Ternyata latha'if pun persis serupa dengan
cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu letaknya berbeda pada tubuh,
tetapi peranan dalam psikologi dan teknik meditasi seluruhnya sama saja.
Asal-usul ketiga macam dzikir ini sukar untuk
ditentukan; dua yang pertama seluruhnya sesuai dengan asas-asas yang diletakkan
oleh 'Abd
Al-Khaliq Al-Ghujdawani, dan muntik sudah
diamalkan sejak pada zamannya, atau bahkan lebih awal. Pengenalan dzikir
latha'if umumnya dalam kepustakaan Naqsyabandiyah dihubungkan dengan nama Ahmad
Sirhindi. Kelihatannya sudah digunakan dalam Tarekat Kubrawiyah sebelumnya;
jika ini benar, maka penganut Naqsyabandiyah di Asia Tengah sebetulnya sudah
mengenal teknik tersebut sebelum dilegitimasikan oleh Ahmad Sirhindi.
Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir;
pembacaan aurad (Indonesia: wirid), meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan.
Aurad merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau
memuji Nabi Muhammad, dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam
yang sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak
secara psikologis akan mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan
wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syekhnya, untuk diamalkan secara
rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau
seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan. Naqsyabandiyah
tidak mempunyai kumpulan aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat
kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah di tempat yang lain
dan pada masa yang berbeda memakai aurad yang berbeda-beda. Penganut
Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai Al-Aurad Al-Fathiyyah,
dihimpun oleh Ali Hamadani, seorang sufi yang tidak memiliki persamaan sama
sekali dengan kaum Naqsyabandiyah.
MUHAMMAD SHOLEH....
Rak ono footnote??
BalasHapus